Kamis, 31 Januari 2008

UJIAN NASIONAL


Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.

Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.

Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.

Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.

Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.

Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. 2005/2007 menjadi 4,50dan sekarang tahun 2006/2007 menjadi 5,00 Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.

Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2006 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Benarkah Kualitas UAN Akan Lebih baik?

Kalau saja UU dan peraturan tentang Ujian Nasional akan lebih ditingkatkan itu kelihatannya bagus tapi, kualitas apa? Hak guru dikebiri begitu saja dalam hal pengambilan keputusan terhadap rangkaian proses pengajarannya. Dalam proses mengajar di wajibkan guru membuat perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Tetapi hak untuk mengevaluasi tidak diberikan untuk ujian akhir jenjangnya. Dengan adanya ujian nasional versi pemerintah, mutlak jerih payah siswa selama setahun terakhir sekolah tidak dijadikan pertimbangan sama sekali. Padahal di situlah rekaman penting guru tentang kondisi terakhir siswa. Dari rekaman pantauan itu gurulah yang tahu persis siswa layak lulus atau tidak. Jadi tidak seperti sekarang ini penentuannya hanya diambil pada saat “ujian nasional” itu saja. Itupun tidak seluruh mata pelajaran.

Kualitas memang bisa dari segi mana saja mulai dari perencanaan, pelaksanaan, koordinasi. Tapi seberapa besar dana yang diperlukan kalau model ujian nasional tidak diubah. Pengawasan tahun 2007 sudah melibatkan pengawasan independen, tapi kebocoran dan kecurangan tetep saja terjadi di mana-mana. bahwa hal seperti itu tidak akan bisa dihilangkan. Jika memang berniat untuk memperbaiki sistem ujian semestinya harus mengubah total. Perubahan bisa saja mencotek sistem ujian di negara lain, kalau memang tidak bisa mendapatkan solusi yang tepat.

Menurut saya kalau ujian nasional yang hanya “sekadar” begitu saja, dan hasil dari ujian hanya “sekadar” digunakan untuk memutuskan siswa lulus atau tidak saja, terlalu mahal biaya yang mesti dikeluarkan. Lebih-lebih membuka peluang terjadinya keculasan/kecurangan akan menambah rentetan dosa-dosa saja. Hasil ujian nasional itu tidak bisa juga digunakan untuk pertimbangan seorang siswa untuk memasuki jenjang lebih tinggi. Mengapa itu terjadi karena lembaga yang jenjangnya lebih tinggi sudah tidak lagi mempercayai hasil ujian nasional itu. Mulai dari SMP, SMA, Perguruan Tinggi, yang memiliki status “sekolah pilihan” dalam sistem penerimaan siswa baru/mahasiswa baru selalu dilakukan ujian masuk. Artinya hasil ujian nasional tidak sedikitpun dipandang.
Mereka sebenarnya tidak percaya itu karena mereka sudah tahu kondisi nyata dari sistem ujian yang ada itu memang tidak patut untuk dipercayai. Akhirnya berapa biaya yang mesti dikeluarkan hanya untuk menyaring/menyeleksi siapa yang berhak lulus atau masuk. Nah kalau ujian nasional hanya digunakan hanya sekadar begitu saja lebih baik Ujian Nasional ditiadakan saja, tidak perlu lagi ada ujian nasional, nambahin utang negara saja… Mikir…makanya mikir… siapa yang mesti mikir yah?Ω

Tidak ada komentar: